Maryam-san, Mualaf dan Aktivis Da`wah di Hamamatsu Jepang
Telah dimuat pada edisi khusus Majalah Tarbawi tahun 2007
Maryam-san, Mualaf dan Aktivis Da`wah di Hamamatsu Jepang (29 tahun)
“Keluarga Tak Menerima Tapi Juga Tak Menolak”
ama Maryam barangkali tidak terlalu asing bagi telinga muslim dimanapun. Nama ini terpatri dalam Al Qur’an (Surat Maryam). Menandakan posisi sang empunya nama (Maryam binti Imran) yang memang istimewa dalam sejarah Islam.
Sebaliknya, Maryam keturunan Jepang yang satu ini bukan siapa-siapa. Tak banyak orang mengenalnya. Tidak di Hamamatsu kota tempat tinggalnya, tidak di Jepang negaranya, apalagi di Indonesia. Kendati demikian, kisah hidup hamba Allah yang satu ini menarik untuk disimak. Apalagi, semangat dan performa keislamannya tak kalah dengan mereka yang berislam sejak lahir.
Nama Maryam memang bukan nama asli. Sebagai orang asli Jepang jelas ia memiliki nama Jepang. “Tapi tolong jangan paksa saya menyebutkan nama asli saya. Saya tak ingin membangkitkan kenangan lama saya. Kenangan yang tak ingin saya ingat-ingat lagi. Maka, panggil saya Maryam saja,” ujar Maryam tenang..
Kisah tentang Maryam adalah juga kisah sukses pengajian Hamamatsu dalam membina anggota pengajiannya. Hamamatsu adalah tempat dimana ia tinggal dan kemudian mengikuti pengajian-pengajian Islam. Kota ini berpenduduk 800.000 jiwa yang terletak di Pulau Honshu bagian tengah, dan dapat ditempuh dalam waktu empat jam saja dari Tokyo ke arah Selatan. Empat jam saja dari Tokyo ke arah selatan dengan menggunakan kereta biasa.
Muslim di Hamamatsu cukup banyak. Terdiri atas orang Indonesia yang bekerja di perusahaan Jepang (lazim disebut kenshusei alias trainee), muslim Pakistan, muslim keturunan Jepang karena perkawinan campuran (Nikkei) dan penduduk asli Jepang sendiri (Nihon jin).
Banyaknya muslim pekerja di Hamamatsu tak lepas dari keberadaan kota ini sebagai kota industri. Perusahaan multinasional seperti Yamaha dan Suzuki bermarkas besar di kota ini. Asal mula raksasa Honda-pun dari kota ini. Saratnya industri otomatis mengundang banyak pekerja asing. Termasuk pekerja asal Indonesia.
Pengajian rutin di Hamamatsu telah berlangsung lama. Pesertanya cukup banyak, dan semakin lama semakin bertambah. Muslimah asli Jepang sendiri terlibat secara aktif. Sebagian besar muslimah Jepang menjadi muslim melalui pernikahan, baik dengan muslim Indonesia, Pakistan, Malaysia, ataupun Bangladesh.
Salah satu muslimah asli Jepang aktivis pengajian Hamamatsu adalah Maryam, atau sering disebut Maryam-san oleh warga pengajian Indonesia di Hamamatsu. Maryam lahir pada 19 Juli 1977 di Shizuoka Jepang, kota yang berjarak satu jam perjalanan dari Hamamatsu ke arah utara. Ia adalah putri pertama dari empat bersaudara.
Maryam menikah dengan Bambang Harianto, pekerja Indonesia yang semula bekerja di salah satu industri di Hamamatsu, pada 16 Desember 2001. Lima hari sebelumnya dia mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan oleh pengajian Hamamatsu.
Pernikahan Maryam dengan Bambang berlangsung unik dan terkesan aneh bagi kebanyakan masyarakat Jepang, apalagi bagi orangtua Maryam. Ketika Bambang memberanikan diri untuk melamar Maryam, sang calon mertua tak berkomentar. Bingung. Karena biasanya pemudi pemuda Jepang hidup bersama dulu sebelum menikah (atau malah tidak menikah selamanya namun hidup bersama dengan pasangan yang sama atau bergonta ganti pasangan). Apalagi, Maryam kenal Bambang kurang dua bulan. Namun dasar pemuda Bambang ini baik imannya, maka kendati sang mertua rada bingung, namun pernikahan-pun tetap dilangsungkan di kampung halaman Bambang, Pasuruan-Jawa Timur, melalui perantaraan wali hakim.
Dari pernikahan yang penuh barokah ini Maryam dan Bambang (sementara ini) dikaruniai dua orang anak, masing-masing bernama Sakinah (lahir tahun 2002) dan Abdullah Alim (Lahir tahun 2004). Wajah kedua hamba Allah yang mungil ini cukup unik. Berkulit putih dan bermata agak sipit ala Maryam, namun sesekali bisa berbahasa Indonesia mengikuti Ayah-nya.
Komunikasi dalam keluarga ini cukup unik. Mereka lebih banyak bicara dalam bahasa Jepang, yang sesekali dicampur bahasa Indonesia. Maryam sendiri belum bisa berbahasa Indonesia kendati sudah paham banyak kata Indonesia. Bambang sebaliknya, sudah pintar berbahasa Jepang karena telah tinggal di Jepang nyaris sepuluh tahun. Namun, apabila bertemu dengan komunitas Indonesia, Bambang lebih banyak berbahasa Jawa logat Jawa Timur-an, apalagi ketika yang dijumpainya adalah orang Jawa.
Dua sejoli ini adalah pasangan serasi di dalam dan di luar rumah. Keduanya sama-sama aktif menggerakkan pengajian di Hamamatsu dan sekitarnya. Bambang, setelah usai kontrak tiga tahunnya dengan perusahaan di Jepang, lantas menetapkan untuk tinggal di Jepang. Apalagi ia telah beristrikan orang Jepang. Bambang kini berwirausaha jual beli mobil dan aktif memimpin Keluarga Masyarakat Indonesia Hamamatsu (KMIH). Juga, ia aktif menggerakkan aktivitas da`wah di masjid Muhammadi Hamamatsu, masjid satu-satunya di Hamamatsu yang berdiri pada tahun 2006 dan didominasi komunitas pekerja Indonesia. Maryam sendiri disamping menjadi ibu rumah tangga, juga aktif menjadi penggerak da`wah di kalangan muslimah Jepang (Nihon jin). “Maryam-san termasuk pioneer disini, ia sudah bisa disebut ustadzah, apalagi bacaan Al Qur`an-nya sudah lancar sekali,” komentar Ervin, seorang ibu muda Indonesia yang tinggal di Hamamatsu.
Apa yang membuat Maryam tertarik dengan Islam? Awalnya sederhana saja. Maryam remaja memiliki hobi menari. Hobi ini mengantarnya bertemu dengan orang Indonesia dalam acara-acara kebudayaan. Dalam sejumlah interaksi tersebut, ia heran mengapa orang Indonesia yang dijumpainya tak makan daging babi dan juga tak minum alkohol ataupun sake. Padahal, bagi kebanyakan orang Jepang, alkohol adalah bagian dari budaya keseharian.
Kemudian, setelah peristiwa WTC 11 September 2001, Maryam makin penasaran lagi dengan Islam. Mengapa Islam dikaitkan dengan terorisme? Mengapa muslim diidentikkan dengan kekerasan? Maka berbekal kegelisahan tersebut, Maryam-pun mendatangi pertemuan yang dihadiri orang Jepang dan orang Indonesia yang antara lain membahas persoalan tersebut.
Tak dinyana, Allah SWT punya kuasa, dari interaksi dengan muslim Indonesia dalam forum-forum diskusi tersebut, ia bertemu dengan Bambang Harianto, pemuda Pasuruan yang kini jadi suaminya, pada pertengahan bulan Oktober 2001. Dari interaksi-interaksi tersebut, ia juga sampai pada kesimpulan bahwa peristiwa 11 September 2001 tak ada hubungannya dengan Islam. Muslim Indonesia di Hamamatsu tampak ramah, hangat, dan tak ada kesan sebagai teroris sama sekali. Tak seburuk yang digambarkan media massa.
Menurut Maryam, Islam tidak banyak dikenal di Jepang. Karena di Jepang tak ada pelajaran agama. Ia sendiri mengenal Islam pertama kali justru dari pelajaran sejarah di sekolah. Ketika ia di sekolah menengah, ada pelajar muslim yang mengikuti pertukaran pelajar di sekolahnya. Dimana ia banyak bertanya dan bertukar pikiran tentang agama dan masalah ketuhanan. Kemudian, ia juga mengenal Islam dari presentasi teman kuliahnya di universitas yang mempresentasikan tentang Islam sebagai bagian dari tugas kuliah..
Sepengetahuan Maryam selaku muslimah asli Jepang, orang Jepang masa kini umumnya tidak fanatik pada satu agama. Atau malah tidak beragama sama sekali. Mereka bisa lahir sebagai penganut Shinto, kemudian ketika menikah menggunakan ritual Kristen, dan ketika meninggal memilih ritual ala Budha. Maka, menerima konsep Tuhan yang satu ala Islam adalah persoalan besar bagi orang Jepang. Menurut Maryam, orang Jepang mengenal konsep Tuhan namun berbeda dengan monotheisme ala Islam. Sebagian merasakan kebutuhan terhadap adanya Tuhan namun mereka tidak punya perangkat untuk mengakses Tuhan tersebut. Namun, pada umumnya apabila mereka mendapatkan penjelasan yang memadai tentang Islam, mereka juga tak terlalu sulit untuk menerima.
Menanamkan rasa percaya akan keberadaan Allah sebagai Sang Pencipta dan Rasulullah Muhammad SAW sebagai utusanNya adalah suatu perjalanan yang panjang bagi muslim Jepang. Menurut penuturan sejumlah mualaf Jepang, sebelum menjadi muslim, sebagian besar orang Jepang tidak percaya atau tidak yakin dengan adanya Tuhan. Mereka meyakini bahwa apa-apa yang sudah dan akan didapatkan semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Maka, hidup terasa kosong. Bila kebutuhan terhadap Tuhan mereka rasakan di suatu waktu, mereka bingung kemana mencariNya. Maka, mereka mencari Tuhan dimana-mana dan menentukan Tuhan mana saja yang bisa dimintakan pertolongan. Karena kebiasaan ini, orang Jepang banyak memiliki dewa dan jimat sebagai sebagai manifestasi kebutuhannya terhadap Tuhan. “Itulah mengapa saya katakan bahwa bagian tersulit mengajarkan Islam bagi orang Jepang adalah untuk mencerna konsep ketuhanan yang satu tersebut,” jelas Maryam.
Maryam masih percaya bahwa terlepas dari masalah hidayah Allah SWT, jalan pernikahan adalah satu cara efektif untuk memperkenalkan Islam bagi orang Jepang. Kemudian, setelah mereka masuk Islam juga harus dibimbing. Ia menisbatkan pada dirinya sendiri, dimana ketika ia masuk Islam tahun 2001 sebenarnya iman dia pun belum begitu mantap. Alhamdulillah dia bertemu dengan suami yang baik dan senantiasa siap membimbingnya. “Jangan sampai ketika sang mualaf masuk Islam lantas ditinggal sendiri karena ternyata sang pasangannya juga tak terlalu taat dengan ajaran Islam, bimbinglah mereka karena mereka sangat perlu dibimbing,” pinta Maryam.
Oleh karenanya, Maryam bersyukur bahwa di Hamamatsu ada pengajian rutin yang dikelola oleh masyarakat muslim di kota tersebut. Pengajian muslimah Hamamatsu memiliki aktivitas beragam. Bisa berupa belajar membaca Al-qur’an, menghafal surat-surat pendek, belajar bacaan sholat dan do’a-do’a keseharian. Alhamdulillah, pada saat ini sudah ada beberapa orang yang bisa lancar membaca Al-Qur’an.
Bersama pengajian Hamamatsu, para muslimah dan mualaf Jepang ini mulai memahami Islam dengan benar. Bila pada awalnya mereka mengakui, masuk Islam karena pernikahan, namun kini Alhamdulillah mereka menjadi bersyukur dipertemukan dengan Islam dan meyakini bahwa karena Islam-lah hati mereka menjadi tenang, hidup terarah dan menjadi punya pegangan hidup. Seperti suatu waktu, ketika diselipkan kabar tentang kasus karikatur Rasulullah di koran Denmark yang sangat menyinggung umat Islam, mereka mencucurkan air mata. Bukan air mata tanpa makna, namun air mata yang lahir dari rasa cinta pada Rasulullah SAW yang telah bersemi di hati mereka.
Namun, menjadi muslimah di Jepang bukan berarti tanpa tantangan. Beragam masalah timbul sebagai konsekuensi hidup sebagai minoritas. Layaknya menjadi orang asing di negerinya sendiri. Salah satunya adalah benturan dengan keluarga yang tidak menerima keberadaan mereka sebagai muslim. Bahkan, ada pula yang tidak diakui sebagai anggota keluarga lagi oleh orang tua dan sanak saudaranya. Namun selepas anak-anak tercinta lahir dari rahim mereka, Alhamdulillah biasanya sebagian orang tua kembali mau menerima mereka. Kendati, yang lainnya tetap saja menjaga jarak dengan anak, menantu, dan cucu-cucunya.
Hal ini terjadi juga pada orang tua Maryam. Orangtuanya tidak pernah tegas-tegas menolak keislamannya, namun juga tidak pernah menyatakan menerima secara terbuka. Orangtua Maryam memberikannya pilihan bebas karena Maryam sudah dewasa dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Suatu sikap khas Jepang. Alhamdulillah, hingga kini komunikasi Maryam dan suaminya dengan orangtua Maryam tetap baik. Mereka tetap bersilaturrahmi dan berkomunikasi secara wajar.
Masalah berikutnya bagi Maryam, dan juga para mualaf lainnya adalah kesulitan mendapatkan makanan yang halal. Makanan dan minuman yang ada di Jepang sebagian besar mengandung unsur haram, seperti babi (butaniku), arak/sake, wine ataupun bersifat syubhat, seperti banyaknya daging atau ayam yang tidak dipotong dengan menyebut asma Allah SWT. Maryam sangat menyadari hal tersebut. Ia tahu betul mana-mana produk makanan Jepang yang tak layak dikonsumsi karena sifat haramnya.
Alhamdulillah di Hamamatsu ada beberapa toko yang menjual daging halal. Keuntungan bagi Maryam, sebagai orang Jepang ia mudah saja membaca huruf kanji ketika berbelanja di supermarket. Maka ia dapat segera mengidentifikasi ingredients/ bahan kandungan yang ada dalam suatu produk makanan.
Berbeda halnya dengan muslim non Jepang. Banyak diantaranya yang tak bisa membaca huruf Jepang (hiragana-katakana-kanji). Akibatnya, mereka tak dapat memahami kandungan bahan makanan. Dalam kasus ini, muslim tersebut-lah yang harus proaktif. Contohnya, bila harus membeli roti atau datang ke restoran umum, maka harus berani bertanya pada penjualnya, kandungan makanan yang akan di makan. Memang terdengar merepotkan, namun bagi muslimah Jepang dan warga muslim lainnya, hal ini sudah menjadi kebiasaan. Terbukti, sudah bertahun-tahun mereka menjalaninya tanpa sekalipun merasa repot. Alhamdulillah, rata-rata penjual atau penjaga toko diJepang sangat menghargai pembeli. Betul-betul menjadikan pembeli sebagai raja. Sehingga, sangat jarang ditemui penjual atau penjaga toko yang marah atau kesal saat ditanyakan kandungan makanan atau minuman yang dijualnya.
Masalah berikutnya adalah menanamkan dan memperkuat aqidah anak-anak utamanya ketka memasuki dunia sekolah. Kendati anak-anak Maryam belum masuk sekolah dasar, namun iapun memahami kendala ini dari hasil interaksinya dengan muslim yang lain. Kesulitannya adalah mulai dari menjelaskan pihak sekolah terkait makan siang yang ‘khusus’ alias bebas dari zat-zat haram seperti babi dan alkohol. Pelaksanaan sholat dzuhur bagi anak yang sudah menginjak remaja. Hingga, penjelasan ekstra tentang ketidakhadiran anak-anak pada acara-acara khusus di sekolah yang menyangkut kepercayaan orang Jepang, acara-acara mana berpotensi mendatangkan syirik.
Sudah bukan rahasia umum, di Hamamatsu dan di bagian Jepang yang lain. Sebagian anak muslim ada yang mengalami ‘ijime’ atau kebiasaan diejek oleh sekelompok anak di sekolahnya. Biasanya karena adanya perbedaan pakaian atau makanan. Namun Alhamdulillah, melalui komunikasi aktif dengan pihak sekolah dan bersikap tidak menutup diri, masalah-masalah yang timbul bisa di selesaikan dengan baik.
Penggunaan busana muslimah terkadang masih juga mengundang pertanyaan. Beberapa orang Jepang merasa aneh atas penggunaan jilbab dan busana muslimah. Misalnya saja saat musim panas (natsu), di Hamamatsu bisa mencapai 38 derajat celcius. Ketika semua orang Jepang berpakaian minim keberadaan muslimah berbusana ‘rapat’ jelas mengundang keanehan. Padahal, biasanya ketika musim panas, para muslimah menggunakan pakaian yang berbahan tidak tebal namun menyerap keringat. Begitupun dengan jilbabnya, diusahakan tidak berbahan tebal, namun tentunya tidak pendek dan tidak tembus pandang.
Maryam-san termasuk muslimah yang selalu mengenakan busana muslimah di semua tempat dan keadaan. Ia tak malu mengenakan baju gamis dan jilbab lebar untuk pergi ke pasar dan tempat-tempat umum lainnya. Bagi yang tak mengenalnya dan tak melihat wajahnya, takkan mengira bahwa ia adalah seorang muslimah Jepang. Dalam bayangan kebanyakan warga Jepang, muslimah berprofil demikian adalah melulu berasal dari Timur Tengah ataupun Afrika Utara.
Kendati sangat bahagia hidup dalam Islam, Maryam-pun memiliki kritik terhadap muslim, utamanya muslim Indonesia. Menurutnya, masih banyak muslim Indonesia yang belum mengamalkan Islam dengan benar. “Saya tidak mengatakan saya sudah benar, namun hal ini amat disayangkan karena sebenarnya umat Islam Indonesia sangat berpotensi dan amat dimudahkan Allah untuk beribadah. Apalagi dari segi jumlah-pun terbesar di dunia. Karena, ketika seorang muslim tidak menjalankan ajaran Islam atau bahkan berbuat keburukan, terkadang orang Jepang, yang saya ketahui, dengan mudah menisbatkannya ke Islam dan bukan orang itu sendiri. Akhirnya yang jelek adalah nama Islamnya dan bukan individu yang bersangkutan. Masih sulit bagi orang Jepang memisahkan antara Islam dan muslim, “ tukas Maryam.
Kritik Maryam berikutnya, dari pengamatannya ketika berkunjung ke Indonesia, kaum muda Indonesia cenderung berperilaku kebarat-baratan. “Banggalah sebagai muslim. Jangan terlalu condong ke barat,” ujar Maryam. Namun, Maryam juga senang dengan Indonesia untuk banyak hal. Bukan semata-mata karena suaminya orang Indonesia. Namun ia kagum dengan kehangatan dan suasana kekeluargaan orang Indonesia. “Saya juga senang dengan makanan Indonesia dan punya buah favorit bernama mangga,” ujar Maryam.
Maryam begitu cinta dengan Indonesia. Sama halnya dengan kecintaannya kepada Jepang. Namun, sejauh ini baru dua kali ia mengunjungi Indonesia. Ke kampung halaman suaminya di Pasuruan. Dan Maryam cukup populer di Pasuruan. Karena ketika ia disana, ia sempat diwawancara media setempat yang merasa aneh, karena ada perempuan Jepang yang masuk Islam dan menikah dengan warga asli Pasuruan.
Kecintaan Maryam pada Indonesia dan muslim Indonesia memiliki dasar yang tulus. Ia melihat muslim Indonesia, khususnya yang ada di Jepang, amat mudah bergaul dan tak menunjukkan perbedaan. Agak berbeda dengan kebanyakan orang Jepang yang biasanya tak bisa langsung akrab. Perlu waktu sedikit demi sedikit untuk dapat saling percaya. “Maka, manfaatkanlah modal silaturrahmi dan keluwesan pendekatan ala Indonesia untuk menda’wahi orang Jepang. Karena sesungguhnya orang Jepang amat senang mempelajari budaya asing,” tambah Maryam.
Terakhir, Maryam-san berpesan kepada warga muslim Indonesia, “Tolonglah bantu kami para mualaf di Jepang. Kirimkan para da’i dan bantulah membangun pendidikan Islam di Jepang. Jangan terlalu pelit dengan ilmu yang anda miliki. Saya melihat banyak orang pintar agama Islam di Indonesia. Maka, bagi-bagilah ilmunya ke Jepang,” ujar Maryam.
-------------------------------
*Kisah ini dituturkan langsung oleh narasumber kepada Heru Susetyo di kediamannya di Hamamatsu-shi, Shizuoka-ken, Jepang pada 9 Oktober 2006. Narasumber menuturkan kisahnya dalam bahasa Jepang dengan bantuan translasi ke dalam bahasa Indonesia oleh suaminya Bambang Harianto dan tokoh muslim Indonesia di Hamamatsu, Dr. Ratno Nuryadi. Data tambahan dituturkan oleh Ervin Hidayati, Ibu Indonesia yang juga adalah aktivis pengajian di Hamamatsu – Jepang.
herususetyo.multiply.com
Maryam-san, Mualaf dan Aktivis Da`wah di Hamamatsu Jepang (29 tahun)
“Keluarga Tak Menerima Tapi Juga Tak Menolak”
ama Maryam barangkali tidak terlalu asing bagi telinga muslim dimanapun. Nama ini terpatri dalam Al Qur’an (Surat Maryam). Menandakan posisi sang empunya nama (Maryam binti Imran) yang memang istimewa dalam sejarah Islam.
Sebaliknya, Maryam keturunan Jepang yang satu ini bukan siapa-siapa. Tak banyak orang mengenalnya. Tidak di Hamamatsu kota tempat tinggalnya, tidak di Jepang negaranya, apalagi di Indonesia. Kendati demikian, kisah hidup hamba Allah yang satu ini menarik untuk disimak. Apalagi, semangat dan performa keislamannya tak kalah dengan mereka yang berislam sejak lahir.
Nama Maryam memang bukan nama asli. Sebagai orang asli Jepang jelas ia memiliki nama Jepang. “Tapi tolong jangan paksa saya menyebutkan nama asli saya. Saya tak ingin membangkitkan kenangan lama saya. Kenangan yang tak ingin saya ingat-ingat lagi. Maka, panggil saya Maryam saja,” ujar Maryam tenang..
Kisah tentang Maryam adalah juga kisah sukses pengajian Hamamatsu dalam membina anggota pengajiannya. Hamamatsu adalah tempat dimana ia tinggal dan kemudian mengikuti pengajian-pengajian Islam. Kota ini berpenduduk 800.000 jiwa yang terletak di Pulau Honshu bagian tengah, dan dapat ditempuh dalam waktu empat jam saja dari Tokyo ke arah Selatan. Empat jam saja dari Tokyo ke arah selatan dengan menggunakan kereta biasa.
Muslim di Hamamatsu cukup banyak. Terdiri atas orang Indonesia yang bekerja di perusahaan Jepang (lazim disebut kenshusei alias trainee), muslim Pakistan, muslim keturunan Jepang karena perkawinan campuran (Nikkei) dan penduduk asli Jepang sendiri (Nihon jin).
Banyaknya muslim pekerja di Hamamatsu tak lepas dari keberadaan kota ini sebagai kota industri. Perusahaan multinasional seperti Yamaha dan Suzuki bermarkas besar di kota ini. Asal mula raksasa Honda-pun dari kota ini. Saratnya industri otomatis mengundang banyak pekerja asing. Termasuk pekerja asal Indonesia.
Pengajian rutin di Hamamatsu telah berlangsung lama. Pesertanya cukup banyak, dan semakin lama semakin bertambah. Muslimah asli Jepang sendiri terlibat secara aktif. Sebagian besar muslimah Jepang menjadi muslim melalui pernikahan, baik dengan muslim Indonesia, Pakistan, Malaysia, ataupun Bangladesh.
Salah satu muslimah asli Jepang aktivis pengajian Hamamatsu adalah Maryam, atau sering disebut Maryam-san oleh warga pengajian Indonesia di Hamamatsu. Maryam lahir pada 19 Juli 1977 di Shizuoka Jepang, kota yang berjarak satu jam perjalanan dari Hamamatsu ke arah utara. Ia adalah putri pertama dari empat bersaudara.
Maryam menikah dengan Bambang Harianto, pekerja Indonesia yang semula bekerja di salah satu industri di Hamamatsu, pada 16 Desember 2001. Lima hari sebelumnya dia mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan oleh pengajian Hamamatsu.
Pernikahan Maryam dengan Bambang berlangsung unik dan terkesan aneh bagi kebanyakan masyarakat Jepang, apalagi bagi orangtua Maryam. Ketika Bambang memberanikan diri untuk melamar Maryam, sang calon mertua tak berkomentar. Bingung. Karena biasanya pemudi pemuda Jepang hidup bersama dulu sebelum menikah (atau malah tidak menikah selamanya namun hidup bersama dengan pasangan yang sama atau bergonta ganti pasangan). Apalagi, Maryam kenal Bambang kurang dua bulan. Namun dasar pemuda Bambang ini baik imannya, maka kendati sang mertua rada bingung, namun pernikahan-pun tetap dilangsungkan di kampung halaman Bambang, Pasuruan-Jawa Timur, melalui perantaraan wali hakim.
Dari pernikahan yang penuh barokah ini Maryam dan Bambang (sementara ini) dikaruniai dua orang anak, masing-masing bernama Sakinah (lahir tahun 2002) dan Abdullah Alim (Lahir tahun 2004). Wajah kedua hamba Allah yang mungil ini cukup unik. Berkulit putih dan bermata agak sipit ala Maryam, namun sesekali bisa berbahasa Indonesia mengikuti Ayah-nya.
Komunikasi dalam keluarga ini cukup unik. Mereka lebih banyak bicara dalam bahasa Jepang, yang sesekali dicampur bahasa Indonesia. Maryam sendiri belum bisa berbahasa Indonesia kendati sudah paham banyak kata Indonesia. Bambang sebaliknya, sudah pintar berbahasa Jepang karena telah tinggal di Jepang nyaris sepuluh tahun. Namun, apabila bertemu dengan komunitas Indonesia, Bambang lebih banyak berbahasa Jawa logat Jawa Timur-an, apalagi ketika yang dijumpainya adalah orang Jawa.
Dua sejoli ini adalah pasangan serasi di dalam dan di luar rumah. Keduanya sama-sama aktif menggerakkan pengajian di Hamamatsu dan sekitarnya. Bambang, setelah usai kontrak tiga tahunnya dengan perusahaan di Jepang, lantas menetapkan untuk tinggal di Jepang. Apalagi ia telah beristrikan orang Jepang. Bambang kini berwirausaha jual beli mobil dan aktif memimpin Keluarga Masyarakat Indonesia Hamamatsu (KMIH). Juga, ia aktif menggerakkan aktivitas da`wah di masjid Muhammadi Hamamatsu, masjid satu-satunya di Hamamatsu yang berdiri pada tahun 2006 dan didominasi komunitas pekerja Indonesia. Maryam sendiri disamping menjadi ibu rumah tangga, juga aktif menjadi penggerak da`wah di kalangan muslimah Jepang (Nihon jin). “Maryam-san termasuk pioneer disini, ia sudah bisa disebut ustadzah, apalagi bacaan Al Qur`an-nya sudah lancar sekali,” komentar Ervin, seorang ibu muda Indonesia yang tinggal di Hamamatsu.
Apa yang membuat Maryam tertarik dengan Islam? Awalnya sederhana saja. Maryam remaja memiliki hobi menari. Hobi ini mengantarnya bertemu dengan orang Indonesia dalam acara-acara kebudayaan. Dalam sejumlah interaksi tersebut, ia heran mengapa orang Indonesia yang dijumpainya tak makan daging babi dan juga tak minum alkohol ataupun sake. Padahal, bagi kebanyakan orang Jepang, alkohol adalah bagian dari budaya keseharian.
Kemudian, setelah peristiwa WTC 11 September 2001, Maryam makin penasaran lagi dengan Islam. Mengapa Islam dikaitkan dengan terorisme? Mengapa muslim diidentikkan dengan kekerasan? Maka berbekal kegelisahan tersebut, Maryam-pun mendatangi pertemuan yang dihadiri orang Jepang dan orang Indonesia yang antara lain membahas persoalan tersebut.
Tak dinyana, Allah SWT punya kuasa, dari interaksi dengan muslim Indonesia dalam forum-forum diskusi tersebut, ia bertemu dengan Bambang Harianto, pemuda Pasuruan yang kini jadi suaminya, pada pertengahan bulan Oktober 2001. Dari interaksi-interaksi tersebut, ia juga sampai pada kesimpulan bahwa peristiwa 11 September 2001 tak ada hubungannya dengan Islam. Muslim Indonesia di Hamamatsu tampak ramah, hangat, dan tak ada kesan sebagai teroris sama sekali. Tak seburuk yang digambarkan media massa.
Menurut Maryam, Islam tidak banyak dikenal di Jepang. Karena di Jepang tak ada pelajaran agama. Ia sendiri mengenal Islam pertama kali justru dari pelajaran sejarah di sekolah. Ketika ia di sekolah menengah, ada pelajar muslim yang mengikuti pertukaran pelajar di sekolahnya. Dimana ia banyak bertanya dan bertukar pikiran tentang agama dan masalah ketuhanan. Kemudian, ia juga mengenal Islam dari presentasi teman kuliahnya di universitas yang mempresentasikan tentang Islam sebagai bagian dari tugas kuliah..
Sepengetahuan Maryam selaku muslimah asli Jepang, orang Jepang masa kini umumnya tidak fanatik pada satu agama. Atau malah tidak beragama sama sekali. Mereka bisa lahir sebagai penganut Shinto, kemudian ketika menikah menggunakan ritual Kristen, dan ketika meninggal memilih ritual ala Budha. Maka, menerima konsep Tuhan yang satu ala Islam adalah persoalan besar bagi orang Jepang. Menurut Maryam, orang Jepang mengenal konsep Tuhan namun berbeda dengan monotheisme ala Islam. Sebagian merasakan kebutuhan terhadap adanya Tuhan namun mereka tidak punya perangkat untuk mengakses Tuhan tersebut. Namun, pada umumnya apabila mereka mendapatkan penjelasan yang memadai tentang Islam, mereka juga tak terlalu sulit untuk menerima.
Menanamkan rasa percaya akan keberadaan Allah sebagai Sang Pencipta dan Rasulullah Muhammad SAW sebagai utusanNya adalah suatu perjalanan yang panjang bagi muslim Jepang. Menurut penuturan sejumlah mualaf Jepang, sebelum menjadi muslim, sebagian besar orang Jepang tidak percaya atau tidak yakin dengan adanya Tuhan. Mereka meyakini bahwa apa-apa yang sudah dan akan didapatkan semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Maka, hidup terasa kosong. Bila kebutuhan terhadap Tuhan mereka rasakan di suatu waktu, mereka bingung kemana mencariNya. Maka, mereka mencari Tuhan dimana-mana dan menentukan Tuhan mana saja yang bisa dimintakan pertolongan. Karena kebiasaan ini, orang Jepang banyak memiliki dewa dan jimat sebagai sebagai manifestasi kebutuhannya terhadap Tuhan. “Itulah mengapa saya katakan bahwa bagian tersulit mengajarkan Islam bagi orang Jepang adalah untuk mencerna konsep ketuhanan yang satu tersebut,” jelas Maryam.
Maryam masih percaya bahwa terlepas dari masalah hidayah Allah SWT, jalan pernikahan adalah satu cara efektif untuk memperkenalkan Islam bagi orang Jepang. Kemudian, setelah mereka masuk Islam juga harus dibimbing. Ia menisbatkan pada dirinya sendiri, dimana ketika ia masuk Islam tahun 2001 sebenarnya iman dia pun belum begitu mantap. Alhamdulillah dia bertemu dengan suami yang baik dan senantiasa siap membimbingnya. “Jangan sampai ketika sang mualaf masuk Islam lantas ditinggal sendiri karena ternyata sang pasangannya juga tak terlalu taat dengan ajaran Islam, bimbinglah mereka karena mereka sangat perlu dibimbing,” pinta Maryam.
Oleh karenanya, Maryam bersyukur bahwa di Hamamatsu ada pengajian rutin yang dikelola oleh masyarakat muslim di kota tersebut. Pengajian muslimah Hamamatsu memiliki aktivitas beragam. Bisa berupa belajar membaca Al-qur’an, menghafal surat-surat pendek, belajar bacaan sholat dan do’a-do’a keseharian. Alhamdulillah, pada saat ini sudah ada beberapa orang yang bisa lancar membaca Al-Qur’an.
Bersama pengajian Hamamatsu, para muslimah dan mualaf Jepang ini mulai memahami Islam dengan benar. Bila pada awalnya mereka mengakui, masuk Islam karena pernikahan, namun kini Alhamdulillah mereka menjadi bersyukur dipertemukan dengan Islam dan meyakini bahwa karena Islam-lah hati mereka menjadi tenang, hidup terarah dan menjadi punya pegangan hidup. Seperti suatu waktu, ketika diselipkan kabar tentang kasus karikatur Rasulullah di koran Denmark yang sangat menyinggung umat Islam, mereka mencucurkan air mata. Bukan air mata tanpa makna, namun air mata yang lahir dari rasa cinta pada Rasulullah SAW yang telah bersemi di hati mereka.
Namun, menjadi muslimah di Jepang bukan berarti tanpa tantangan. Beragam masalah timbul sebagai konsekuensi hidup sebagai minoritas. Layaknya menjadi orang asing di negerinya sendiri. Salah satunya adalah benturan dengan keluarga yang tidak menerima keberadaan mereka sebagai muslim. Bahkan, ada pula yang tidak diakui sebagai anggota keluarga lagi oleh orang tua dan sanak saudaranya. Namun selepas anak-anak tercinta lahir dari rahim mereka, Alhamdulillah biasanya sebagian orang tua kembali mau menerima mereka. Kendati, yang lainnya tetap saja menjaga jarak dengan anak, menantu, dan cucu-cucunya.
Hal ini terjadi juga pada orang tua Maryam. Orangtuanya tidak pernah tegas-tegas menolak keislamannya, namun juga tidak pernah menyatakan menerima secara terbuka. Orangtua Maryam memberikannya pilihan bebas karena Maryam sudah dewasa dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Suatu sikap khas Jepang. Alhamdulillah, hingga kini komunikasi Maryam dan suaminya dengan orangtua Maryam tetap baik. Mereka tetap bersilaturrahmi dan berkomunikasi secara wajar.
Masalah berikutnya bagi Maryam, dan juga para mualaf lainnya adalah kesulitan mendapatkan makanan yang halal. Makanan dan minuman yang ada di Jepang sebagian besar mengandung unsur haram, seperti babi (butaniku), arak/sake, wine ataupun bersifat syubhat, seperti banyaknya daging atau ayam yang tidak dipotong dengan menyebut asma Allah SWT. Maryam sangat menyadari hal tersebut. Ia tahu betul mana-mana produk makanan Jepang yang tak layak dikonsumsi karena sifat haramnya.
Alhamdulillah di Hamamatsu ada beberapa toko yang menjual daging halal. Keuntungan bagi Maryam, sebagai orang Jepang ia mudah saja membaca huruf kanji ketika berbelanja di supermarket. Maka ia dapat segera mengidentifikasi ingredients/ bahan kandungan yang ada dalam suatu produk makanan.
Berbeda halnya dengan muslim non Jepang. Banyak diantaranya yang tak bisa membaca huruf Jepang (hiragana-katakana-kanji). Akibatnya, mereka tak dapat memahami kandungan bahan makanan. Dalam kasus ini, muslim tersebut-lah yang harus proaktif. Contohnya, bila harus membeli roti atau datang ke restoran umum, maka harus berani bertanya pada penjualnya, kandungan makanan yang akan di makan. Memang terdengar merepotkan, namun bagi muslimah Jepang dan warga muslim lainnya, hal ini sudah menjadi kebiasaan. Terbukti, sudah bertahun-tahun mereka menjalaninya tanpa sekalipun merasa repot. Alhamdulillah, rata-rata penjual atau penjaga toko diJepang sangat menghargai pembeli. Betul-betul menjadikan pembeli sebagai raja. Sehingga, sangat jarang ditemui penjual atau penjaga toko yang marah atau kesal saat ditanyakan kandungan makanan atau minuman yang dijualnya.
Masalah berikutnya adalah menanamkan dan memperkuat aqidah anak-anak utamanya ketka memasuki dunia sekolah. Kendati anak-anak Maryam belum masuk sekolah dasar, namun iapun memahami kendala ini dari hasil interaksinya dengan muslim yang lain. Kesulitannya adalah mulai dari menjelaskan pihak sekolah terkait makan siang yang ‘khusus’ alias bebas dari zat-zat haram seperti babi dan alkohol. Pelaksanaan sholat dzuhur bagi anak yang sudah menginjak remaja. Hingga, penjelasan ekstra tentang ketidakhadiran anak-anak pada acara-acara khusus di sekolah yang menyangkut kepercayaan orang Jepang, acara-acara mana berpotensi mendatangkan syirik.
Sudah bukan rahasia umum, di Hamamatsu dan di bagian Jepang yang lain. Sebagian anak muslim ada yang mengalami ‘ijime’ atau kebiasaan diejek oleh sekelompok anak di sekolahnya. Biasanya karena adanya perbedaan pakaian atau makanan. Namun Alhamdulillah, melalui komunikasi aktif dengan pihak sekolah dan bersikap tidak menutup diri, masalah-masalah yang timbul bisa di selesaikan dengan baik.
Penggunaan busana muslimah terkadang masih juga mengundang pertanyaan. Beberapa orang Jepang merasa aneh atas penggunaan jilbab dan busana muslimah. Misalnya saja saat musim panas (natsu), di Hamamatsu bisa mencapai 38 derajat celcius. Ketika semua orang Jepang berpakaian minim keberadaan muslimah berbusana ‘rapat’ jelas mengundang keanehan. Padahal, biasanya ketika musim panas, para muslimah menggunakan pakaian yang berbahan tidak tebal namun menyerap keringat. Begitupun dengan jilbabnya, diusahakan tidak berbahan tebal, namun tentunya tidak pendek dan tidak tembus pandang.
Maryam-san termasuk muslimah yang selalu mengenakan busana muslimah di semua tempat dan keadaan. Ia tak malu mengenakan baju gamis dan jilbab lebar untuk pergi ke pasar dan tempat-tempat umum lainnya. Bagi yang tak mengenalnya dan tak melihat wajahnya, takkan mengira bahwa ia adalah seorang muslimah Jepang. Dalam bayangan kebanyakan warga Jepang, muslimah berprofil demikian adalah melulu berasal dari Timur Tengah ataupun Afrika Utara.
Kendati sangat bahagia hidup dalam Islam, Maryam-pun memiliki kritik terhadap muslim, utamanya muslim Indonesia. Menurutnya, masih banyak muslim Indonesia yang belum mengamalkan Islam dengan benar. “Saya tidak mengatakan saya sudah benar, namun hal ini amat disayangkan karena sebenarnya umat Islam Indonesia sangat berpotensi dan amat dimudahkan Allah untuk beribadah. Apalagi dari segi jumlah-pun terbesar di dunia. Karena, ketika seorang muslim tidak menjalankan ajaran Islam atau bahkan berbuat keburukan, terkadang orang Jepang, yang saya ketahui, dengan mudah menisbatkannya ke Islam dan bukan orang itu sendiri. Akhirnya yang jelek adalah nama Islamnya dan bukan individu yang bersangkutan. Masih sulit bagi orang Jepang memisahkan antara Islam dan muslim, “ tukas Maryam.
Kritik Maryam berikutnya, dari pengamatannya ketika berkunjung ke Indonesia, kaum muda Indonesia cenderung berperilaku kebarat-baratan. “Banggalah sebagai muslim. Jangan terlalu condong ke barat,” ujar Maryam. Namun, Maryam juga senang dengan Indonesia untuk banyak hal. Bukan semata-mata karena suaminya orang Indonesia. Namun ia kagum dengan kehangatan dan suasana kekeluargaan orang Indonesia. “Saya juga senang dengan makanan Indonesia dan punya buah favorit bernama mangga,” ujar Maryam.
Maryam begitu cinta dengan Indonesia. Sama halnya dengan kecintaannya kepada Jepang. Namun, sejauh ini baru dua kali ia mengunjungi Indonesia. Ke kampung halaman suaminya di Pasuruan. Dan Maryam cukup populer di Pasuruan. Karena ketika ia disana, ia sempat diwawancara media setempat yang merasa aneh, karena ada perempuan Jepang yang masuk Islam dan menikah dengan warga asli Pasuruan.
Kecintaan Maryam pada Indonesia dan muslim Indonesia memiliki dasar yang tulus. Ia melihat muslim Indonesia, khususnya yang ada di Jepang, amat mudah bergaul dan tak menunjukkan perbedaan. Agak berbeda dengan kebanyakan orang Jepang yang biasanya tak bisa langsung akrab. Perlu waktu sedikit demi sedikit untuk dapat saling percaya. “Maka, manfaatkanlah modal silaturrahmi dan keluwesan pendekatan ala Indonesia untuk menda’wahi orang Jepang. Karena sesungguhnya orang Jepang amat senang mempelajari budaya asing,” tambah Maryam.
Terakhir, Maryam-san berpesan kepada warga muslim Indonesia, “Tolonglah bantu kami para mualaf di Jepang. Kirimkan para da’i dan bantulah membangun pendidikan Islam di Jepang. Jangan terlalu pelit dengan ilmu yang anda miliki. Saya melihat banyak orang pintar agama Islam di Indonesia. Maka, bagi-bagilah ilmunya ke Jepang,” ujar Maryam.
-------------------------------
*Kisah ini dituturkan langsung oleh narasumber kepada Heru Susetyo di kediamannya di Hamamatsu-shi, Shizuoka-ken, Jepang pada 9 Oktober 2006. Narasumber menuturkan kisahnya dalam bahasa Jepang dengan bantuan translasi ke dalam bahasa Indonesia oleh suaminya Bambang Harianto dan tokoh muslim Indonesia di Hamamatsu, Dr. Ratno Nuryadi. Data tambahan dituturkan oleh Ervin Hidayati, Ibu Indonesia yang juga adalah aktivis pengajian di Hamamatsu – Jepang.
herususetyo.multiply.com
Label: Kisah Islami, the story of muallafs
Posting Komentar